Hallo teman-teman semua! Kalian sudah pada tahu belum cerpen itu apa? Cerpen adalah salah satu jenis prosa yang isi ceritanya bukan kejadian nyata dan hanya dibuat-buat. Jumlah kata di dalam cerita pendek tidak lebih dari 10.000 kata. Penulisan cerita pendek menggunakan gaya bahasa naratif. Berikut contoh cerpen yang dibuat oleh anggota bengkel sastra 2022.
Tuhan Selalu Bersamaku
Aku tidak mengerti di mana dan bagaimana semuanya dimulai. Bagaimana ketakutan ku yang tidak wajar tumbuh dan menghancurkan optimisme. Aku hanya seorang gadis normal dan aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku banggakan tentang diri ini. Aku bukan siswa paling cerdas, atau anak dari keluarga berpengaruh. Namun, bukan berarti aku adalah orang yang suka mengandalkan orang lain. tidak! Bahkan jika aku memiliki masalah, aku menyimpannya untuk diri sendiri. Pertanyaan ku, apakah orang seperti itu bisa disebut sombong? Bisakah orang seperti itu disebut pengganggu? Lakukan orang seperti itu. Bisakah menyebutnya penghinaan? Katakan ya dan dunia akan runtuh (oops!!). Tetapi jika kamu memberi tahu ku bahwa aku lemah dan pemalu, aju hampir percaya 100%. Mengapa? Karena aju sudah bilang dari awal bahwa semakin lama, semakin aku takut. Aku tidak tahu bagaimana semua ini dimulai. Karena aku tidak tahu bagaimana semuanya dimulai, akakan mulai dari mana saja. Melakukan yang terbaik.
Apa yang kau pikirkan tentang orang yang memilih melamunkan kebersamaannya dengan keluarga yang dicintainya atau dengan teman-teman yang selalu menemaninya dengan canda tawa, dibanding melakukannya saat itu juga. Kebersamaan, canda tawa, senyum yang merekah, semua itu hanya ada dalam bayangannya. Kenyataannya, dia hanya diam dengan mata yang menerawang jauh. Padahal dia tahu, teman-temannya ada di sekitarnya. Ada di sampingnya. Keluarganya juga bersamanya, sedang berusaha meramaikan suasana dengan celotehan dan sahut menyahut yang seakan tanpa akhir, sekaligus diiringi senyum-senyum yang mulai mengembang. Apa yang kau pikirkan tentang orang yang seperti itu? Jawablah dan akan kutebak kau pasti bilang bodoh. Jika tidak, kuharap aku bisa bertemu denganmu dan mengobrol lebih jauh. Lalu, kutanya lagi, apa yang kau pikirkan jika orang itu adalah aku? Jawab saja dalam hati dan tak perlu diungkapkan. Aku belum siap mendengar jawabannya.
Sungguh, aku ingin bersenang-senang dengan mereka. Aku ingin bercanda tawa, aku ingin berceloteh ria dan menampakkan senyum merekah yang tulus. Aku juga ingin melontarkan lelucon yang membuat mereka semua tertawa terbahak-bahak, hingga melupakan bahwa mereka punya sejagat masalah. Aku ingin melakukan itu semua. Aku ingin sekali.
Lalu, kenapa aku hanya bisa diam saja? Kenapa aku malah merasa cemas saat berada diantara mereka? Tapi, bukankah aku sudah seperti itu?
Lalu, sebuah pertanyaan kembali muncul. Pertanyaan yang sepertinya lebih tepat kutujukan untuk Tuhan dan diriku sendiri.
“Apakah aku akan selamanya seperti itu?”
Dan sayangnya, aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena aku tak pernah yakin bahwa aku bisa, meskipun seribu motivasi sudah kulahap habis.
Tapi, aku yakin seratus persen bahwa Tuhan pasti menjawabku lewat waktu dan semestanya milikNya. Lalu, aku berpikir lagi, bukankah Tuhanku senantiasa memberikan petunjuk? Bukankah Tuhanku sudah memberikan pedoman berabad-abad yang lalu? Dan kenapa aku tak pernah benar-benar menyadarinya? Bahkan aku semakin menjauh. Betapa buruknya diriku.
Jadi, aku mencoba mengingat. Aku mencoba mencari. Dan.. aku menemukannya. Beberapa ayat, yang membuatku tersadar. Meskipun aku sudah tahu ayat itu sejak dulu, entah mengapa aku memilih tak memikirkannya lebih jauh. Dan sungguh! Penyesalan tak pernah datang di awal. Dia selalu datang terlambat. Aku sangat-sangat menyesal.
Setiap Aku ingin mernyarah, Aku berkata pada diriku, “Tuhan memberitahuku bahwa aku sanggup menyelesaikan masalahku. Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuanku. Tuhan memberitahuku, selalu ada kemudahan yang mengiringi kesulitan. Jadi, ketika aku menyerah, aku kehilangan kemudahan. Tuhan menyuruhku berusaha untuk meraih kemudahan yang ada dibalik kesulitan. Jadi, segera lawan dan bunuh kesulitan itu. Agar aku bisa segera bertemu dengan kemudahan.”
Untuk kamu yang seagama denganku, baca dan renungkanlah lagi. Kuharap kamu semakin sadar dan semakin teguh keimananmu. Dan jika kamu menemukan ayat yang membuatmu lebih bersemangat lagi, tunjukkanlah padaku dan aku akan sangat berterimakasih.
Untuk kamu yang berbeda keyakinan: Ingat, pikirkan, dan renungkanlah agama dan Tuhan yang kamu yakini dan percayai! Aku percaya dan yakin kalau setiap orang percaya bahwa agama yang mereka pilih adalah yang terbaik dan mengajarkan kebaikan. Mari mengingat Tuhan dan tersenyum!
Semenjak saat itu, aku berusaha melakukan sebisaku. Berusaha menyelesaikan tanggungjawabku. Dan perlahan-lahan, aku mulai merasakan perubahan dalam hidupku. Aku merasa bahwa aku mulai dianggap ada. Aku merasa, aku mulai mendapat perhatian, dan aku mulai jarang merasa kesepian. Meskipun aku masih sering menangis. Tapi, setiap Aku menangis, Aku berusaha Untuk selalu mengingat Tuhanku, Dan kubiarkan tangisku semakin pecah.
Tuhan yang paling mengerti apa yang kurasakan. Tuhan selalu tahu apa yang kusembunyikan. Jadi, kubiarkan air mataku mengalir. Aku menangis kepada Tuhan. Bukan, bukan karena Aku Marah. Aku hanya berpasrah, menyerahkan seluruh Beban Dan rasa takutku. Berharap Dan berdoa. Mengikhlaskan apa yang terjadi padaku. Karena hanya Dia yang Maha Mengerti. Hanya Dia Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi. Jadi, Aku tak perlu menyembunyikan rasa takutku. Aku tak perlu berusaha menampakkkan senyum palsuku. Aku akan menjadi apa adanya di depan Tuhan. Menjadi hamba yang memohon pertolonganNya. Menjadi hamba yang meminta petunjuk dari-Nya. Karena, meskipun tak ada finding Untuk bersandar, masih ada lantai Untuk bersujud.
“Jadi, seberapapun besarnya masalah Kita, seberapapun besarnya Beban di pundak Kita, percayalah pada Tuhan sebesar itulah kemampuan yang Kita miliki. Jangan menyerah Dan tetap bersemangat!!! Tuhan selalu bersamamu.”
Cerpen dibuat oleh Athifah Fauziyyah, anggota bengkel sastra 2022
Payung di Musim Kemarau
Es di secangkir gelas itu sudah mencair, membaur bersama kopi yang kupesan lebih dari satu jam yang lalu. Masih saja mataku menatap kosong ke arah luar jendela, kala hujan masih turun membasahi bumi. Mendinginkan udara pada malam yang tentunya tak berbintang itu.
Aku menatap ke arahnya. Ia tersenyum padaku, masih dengan senyuman terlebar dan tertulus yang pernah kulihat. “Andai aku bisa ulang waktu, aku mau nikmati masa-masa itu. Aku ingin menyayangimu lebih, ingin menunjukkan betapa aku peduli padamu.” Ia berkedip, lalu membuang matanya ke meja, ke arah sepucuk surat yang kutaruh di hadapannya itu.
Hari ini ia berulang tahun. Entah berapa umurnya sekarang. Aku tahu benar kapan ia lahir, tapi sampai saat itu tak juga dapat menghitung berapa usianya sekarang.
Pelayan datang padaku, menawarkan apakah aku hendak memesan lagi, sebab dalam waktu setengah jam kafe itu akan segera tutup. Aku hanya menggeleng dan tersenyum padanya. Lalu sambil melihat jam, aku menyandar di sofa.
“Aku ingat saat terakhir kali bertemu denganmu. Ingat pesanmu yang masih terdengar jelas padaku, seperti sebening kristal yang baru diasah. Dan masih ingat pula betapa besarnya penyesalanku saat itu, saat aku seharusnya mengatakan betapa aku menyayangimu dengan sangat dan bahwa selamanya tak akan ada yang bisa menggantikan tempatmu di urutan teratas orang-orang yang kucintai.”
“Mungkin saat itu memang aku masih terlalu kecil dan terlalu malu untuk mengungkapkannya padamu. Tapi pelukanku itu begitu tulus. Begitu besar rasa sayang yang masih tertanam dan belum tumbuh mekar bagimu.”
Aku mengingat hari itu. Ingat sekali. Saat itu di Bandung aku masih berumur 15 tahun. Mungkin saat itu aku benar benar belum tahu seberapa besar rasa sayangku padanya. Namun seiring kepergiannya, rasa sayang itu semakin kuat. Semakin besar. Kerinduanku padanya tak kunjung berkurang. Tetap, aku ingin bersamanya.
Ia melihatku lagi sembari tersenyum. Ia mengenakan pakaian serbaputih. Dan tak tampak sedikitpun noda sama sekali pada helai kainnya. Aku tak tahu apabila kutumpahkan kopi dengan sengaja ke arahnya, ia tetap bersih atau tidak. Yang pasti ia begitu indah, sangat suci.
Walau hanya dengan tatapan, aku tahu ia masih sangat menyayangiku. Rasa itu tak pernah berkurang sejak terakhir kali kami bertemu, dan tentunya tak bisa bertambah, sebab rasa sayangku padanya merupakan rasa yang tertulus dan terbesar yang dapat kuberikan pada orang lain.
Air mataku mulai menetes. Waktu terus berjalan. Sepuluh menit sudah berlalu dalam sekejap, tersisa dua puluh menit lagi bagiku untuk bersamanya. Ia masih saja melihatku. Aku tahu sekali, ia hendak mengatakan, “Rin, jangan menangis. Untuk apa kautangisi aku yang selalu ada di hatimu?”
Aku mengusap air mata dengan punggung tangan kananku. Rindu ini, sesal ini, beban ini, sungguh besar untuk terus dijaga. Bagaimana caranya aku dapat menahannya lagi? Jawab! Rasa ini terlalu besar untukmu, namun tak dapat kuberikan sedikit pun padamu!
Jawabannya hanya senyum. Dan perlahan senyum itu menghilang, menguap bersamaan dengan kabut di malam yang dingin.
“Aku,” kuambil napas Panjang, “sangat merindukanmu.”
Lalu kami diam, membiarkan waktu berjalan perlahan. Tenggelam dalam perasaan masing-masing. Hujan jatuh berirama, mengikuti detak jantungku yang kian berdegup. Baik air hujan yang
menetes maupun es di gelasku yang sudah mencair mendinginkan suasana. Namun dengan kehadirannya, tubuhku yang kedinginan terimbangi hati yang sangat hangat. Dan tampaknya sepuluh menit terlalu cepat berlalu. Sisa sepuluh menit lagi. Beberapa lampu telah dipadamkan, dan setelah sepasang kekasih pergi, tinggallah kami berdua, dan lampu yang masih menyoroti kami. Dua pelayan yang sambil membereskan meja pasangan itu melihat ke arah kami bingung kapan kami akan pergi. Atau sebenarnya hanya aku.
Ia kemudian membenarkan duduknya, menegakkan tubuhnya, dan bersiap pergi. Aku mencegahnya dengan tanganku, mengisyaratkan agar memberiku beberapa waktu lagi untuk mencurahkan isi hatiku.
“Kau tahu,” kataku sambil menitikkan air mata lagi, “bahwa tak ada orang lain yang kubutuhkan selain kau saat ini. Ingin sekali kau kuajak pulang, bertemu dengan keluargaku. Mengenalkanmu pada mereka yang bahkan belum mengenal sosok dirimu. Sudah berapa lama aku tidak bertemu denganmu, dua tahun? Tiga tahun? Lebih, lebih dari satu dekade. Aku sangat merindukanmu. Aku ingin kau hadir lagi di kehidupanku. Aku ingin kau ada bersamaku. Aku ingin kau memuji usahaku.”
Air mataku lagi-lagi tercurah, kali ini tak tertahankan. Kedua pipiku panas sekali. Mataku perih dan kurasa mulai membengkak. Kemudian ia berdiri.
“Dan sekarang kau harus pergi lagi? Sampai kapan? Benarkah harus setahun sekali bertemu denganmu?”
Ia berdiri, lalu memelukku lembut. Pelukan terhangat yang pernah kudapat dalam hidupku. Menguak kembali kenangan-kenangan lama. Mencabik kembali hati dan otakku lebih dalam akan kerinduanku padanya.
Aku menatap matanya. Ia tersenyum puas, seakan-akan bangga padaku dan memintaku untuk mengepakkan lagi sayap-sayap kehidupan, terbang meraih semua impianku. Tatapan itu berkata padaku, “Kau sudah besar. Kau sudah dewasa. Terima kasih sudah mau menjadi pencipta, seperti yang kuinginkan darimu empat tahun lalu. Aku sayang padamu, Erin.”
Aku menangis sejadi-jadinya dalam kesunyian yang ditemani rintik hujan yang mulai melembut. “Aku juga sayang padamu, Kai. Selalu.
”Aku mengatakannya sambil membungkuk. Dan saat aku mengangkat kepala, ia sudah pergi. Yang tersisa hanyalah sepucuk surat di depanku yang ingin kuberi padanya empat tahun yang lalu. Saat ia mengatakan akan berpindah kota dan menemuiku kembali saat sempat. Tapi tak pernah sempat. Ia pergi lebih dulu daripada waktu yang telah ditentukan untuk bertemu.
Dalam kesunyian dan kesendirian itu aku mengucapkan sampai jumpa padanya. Aku tahu tahun depan kami akan bersama lagi, menghabiskan seharian ini lagi. Sambil merasakan tiga puluh menit berlalu bagai kedipan, aku mengambil sepucuk surat itu dari meja. Aku memeluknya sambil memejamkan mata. “Selamat ulang tahun sahabat.”
Seiring dengan ucapan itu, hujan reda. Sesaat lagi bulan akan keluar dari persembunyiannya. Segala sesuatu yang bermulai pada hari itu sudah berakhir. Masa depan terbentang luas. Dan aku kembali harus menunggu hari ini terjadi kembali, tahun depan, untuk bertemu dengannya.
Air mataku menetes sekali lagi, sambil melenyapkan dan kembali meleburkan diri dalam kehidupanku yang biasa. Tanpa seorang pun tahu tentang kisah ini. Berjalan menyusuri waktu tanpa dirinya, dan menerima segala rasa sesal yang kubawa sejak detik ia pergi.
Sampai jumpa tahun depan.
Sampai jumpa di kehidupan lain.
Lampu padam. Kafe itu tutup. Bulan bertakhta.
Cerpen dibuat oleh Erin Nurhaliza, anggota bengkel sastra 2022
Remember That
Gadis itu mengenakan gaun selutut berwarna silver dengan hiasan dikepala yang membuat gadis itu tampak seperti seorang putri. Rambut silvernya senada dengan gaun yang dia pakai dibiarkan terurai. Ditambah mata hazel, hidung mancung, dan bibir pinknya tipis nya membuat dia terlihat sempurna.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa dia adalah anak dari seorang mafia Itali yang begitu kejam. Dia adalah Xaviera Leonidas. Sebuah mawar sekaligus angel dari the Black Blood. Merupakan seorang model dan CEO muda dari Leonidas Corp Company. Dengan rahasia yang disembunyikannya.
Dia membenci kerumunan, tapi keadaan memaksanya untuk menghadiri pesta tidak berguna ini.
Dia melihat sekeliling ruangan dengan sorot mata yang dingin, tak ada yang berani mendekatinya. Dia perlahan menuruni tangga, semua pandangan mengarah padanya. Dan ia membenci hal itu.
Ting.. ting.. ting..
“Perhatian semuanya. Terima kasih telah menyempatkan hadir acara yang sederhana ini. Malam ini adalah malam yang berharga bagi saya dan keluarga saya..”. Jelas pria di seberang sana, dengan balutan jas yang rapi membuat semua orang terfokus padanya.
Xaviera tersenyum miring mendengar penuturan ayahnya. ya dia Xavier Matthew Leonidas. CEO dari beberapa perusahaan besar di Manhattan, salah satunya perusahaan di bidang persenjataan, dan tentunya ketua dari the Black Blood.
Pesta ini bukan sebuah pesta yang biasa. Diselenggarakan di hotel mewah milik Leonidas. Para mafia dari Eropa berkumpul di sini. Para pejabat dan masih banyak lagi.
“Ck. Bosan sekali.” Xaviera melangkah pergi, meninggalkan ayahnya yang tengah berpidato di dalam sana. Angin malam menerpa wajah pucatnya. Kini dia berada di taman, sepi seperti yang dia inginkan. Tanpa sadar ekor matanya menemukan seseorang di ujung sana. Laki-laki itu sedang bersandar pada pohon. Matanya tertutup menikmati suasana malam ini.
Xaviera terus memperhatikannya, tanpa sadar dia tersenyum miring dan mengepalkan tangannya.
“Long time no see, Aiden”.
Cerpen dibuat oleh Muthia Nurul Fathonah, anggota bengkel sastra 2022
Hanya Soal Jarak
Pagi itu, aku terbangun dengan pikiran yang jernih. Sudah seminggu sejak liburan akhir semester dua perkuliahan. Liburan kali ini tidak ada yang istimewa. Aku hanya diam di rumah, membantu ibu dan sesekali membantu adikku. Rasanya memang bosan dan kesal ketika kita hanya bisa diam di rumah. Tetapi, apa boleh buat, pandemi membuat semua orang muak.
Aku dan ibu memang sangat dekat, seperti dua orang sahabat. Kami berbagi cerita, bertukar cerita, jalan dan makan bersama, hingga terkadang kami lupa dengan anak laki-laki satu-satunya di rumah, wkwk. Semenjak pandemi, aku dan ibu menjadi semakin dekat karena kami banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.
“selamat pagi buuu” aku mencium pipi ibu yang sedang memasak di dapur. “hai kak, tumben telat bangun. Gak solat subuh dong?” ibu bertanya kepadaku sembari mengaduk masakan yang berada di depannya. “aku lagi gak solat bu, makanya bangun telat” jawabku. Setelah itu aku, adikku, dan ibu sarapan bersama di meja makan.
Sore telah menjelang, pintu ruang tamu terbuka dan muncullah seorang laki-laki di sana. Ya, itu adikku, Lean. “kak, gebetan aku ghosting lagi” sahut adikku sembari memainkan ponselnya. “yehhh, gaya bener punya gebetan” ucapku. Dia pun tertawa. Tak lama datanglah ibu “anak kelas dua SMP udah sok sok punya gebetan” timpalnya. “harus dong bu, kan penyemangat” jawab adikku dengan bangganya.
“kakak gimana sama Adan?” tanya ibu padaku secara tiba-tiba. Aku yang saat itu sedang meneguk sebotol minuman, refleks terbatuk. “gimana apanya bu? Kan udah selesai dari lama” jawabku sembari membuka pintu kulkas dan menyimpan kembali botol minuman. “sayang sekali berakhir, padahal Adan baik. Emang kurangnya dia apa sih kak?” tanya ibu lagi. Aku tidak menjawab apa-apan, langsung beranjak dari dapur dan pergi meninggalkan ibu dan adikku.
Adan, sesosok laki-laki baik dengan postur tubuh tinggi dan sedikit berisi. Aku menghabiskan waktu selama dua tahun dengannya. Harusnya ini adalah tahun ke tiga kami, tetapi karena aku merasa sudah tidak nyaman dan merasa terlalu menjadi beban baginya, aku pun menyerah dan memilih untuk meninggalkannya. Ya, kami dulu berpacaran. Tapi dengan bodohnya aku memutuskan untuk berhenti menjadi pacarnya hanya karena alasan yang klise, bosan.
Sudah empat bulan sejak aku tidak lagi menjadi pacar Adan. Tidak banyak yang berubah. Hanya saja, sekarang aku tidak lagi banyak mengandalkan dan meminta bantuan darinya. Aku menjadi lebih mandiri dan mengerjakan apapun tanpa bantuannya. Aku dan Adan putus secara baik baik, dan kami pun memutuskan untuk berteman seperti dulu sebelum kami berpacaran. Dan ya, meskipun kami sudah putus, terkadang kami juga beberapa kali bertemu hanya untuk sekedar makan bersama, atau bersilaturahmi dengan sesama keluarga.
Liburan yang biasanya aku habiskan dengan Adan, kali ini aku habiskan dengan ibu dan Lean. “kak, coba deh download aplikasi Telegram” Lean tiba-tiba duduk di sebelahku dan ikut menonton tayangan yang sedang aku tonton. “aplikasi apaan?” tanyaku padanya. “aplikasi cari jodoh, kali aja kakak dapet cogan, kan sayang banget cantik-cantik ngejomblo” timpanya dengan tampang tengil. Sepertinya tidak ada salahnya jika aku mencoba masukan dari Lean, pikirku.
Malam itu, aku unduh sebuah aplikasi di appstoreku. Telegram. “baiklah, mari kita coba” ucapku sambil membuka tampilan aplikasi tersebut. Beberapa kali aku menemukan laki-laki dan mencoba mengobrol dengan mereka. Tetapi, tidak pas menurutku. Hari-hari aku habiskan dengan berselancar pada aplikasi Telegram itu. Banyak orang asing yang aku dapatkan. Banyak juga dari mereka yang ingin berteman denganku seusai kami mengobrol. Dari banyaknya orang yang aku
temukan, sama sekali tidak ada yang menarik perhatianku. Sampai suatu waktu, aku mendapatkan sebuah nama yang ingin mengajakku mengobrol. Ghazee.
Sepanjang malam aku mengobrol dengannya. Laki-laki berusia 21 tahun itu berhasil membuatku nyaman dengan obrolan dan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Sudah ku tanyakan pula asal kotanya, Jakarta Selatan. Banyak orang yang aku jumpai berasal dari Jakarta. Tapi hanya laki-laki bernama Ghazee lah yang dapat membuatku nyaman, bahkan hingga saat ini.
Selepas dari malam itu, aku dan Ghazee semakin dekat dan kami memutuskan untuk bertukar nomor whatsapp dan sosial media. Saat ku tahu salah satu akun sosial medianya, ternyata tidak ada apapun di sana. Bahkan foto dirinya pun tidak ada. Akupun berpikir mungkin ia memang sosok laki laki yang tidak banyak gaya di sosmed. Setelahnya, kami pun berpindah tempat obrolan. Kini kami mengobrol di whatsapp.
“kamu kuliah?” tanya ku padanya
“iya, aku kuliah. Udah mau tiga hari kenal, tapi baru nanyain itu sekarang, haha” jawabnya
“haha, iya. Aku lupa karena sekarang lagi liburan” jawabku lagi
“aku anak manajemen, Binus, semester 8. Kalo kamu?”
“ahh, I see. Udah mau skripsian dong.
Aku anak Pendidikan, UPI” jawabku
“pendidikan apa? Semester berapa btw?”
“guru SD, semester 4”
“asik, ada bu guru nih, haha”
Kurang lebih seperti itulah awal percakapan kami. Setelah dua minggu aku dan Ghazee saling kenal, tiba-tiba saja dia menyatakan perasaannya padaku. Tepat pada 02-01-2021. Bingung. Hanya satu kata itu yang ada dipikiranku saat itu. Aku memang menyukai segala hal tentangnya. Hobinya, perilakunya, canda, dan bahkan visualnya. Meskipun yang aku lihat hanya sebuah foto. Karena aku di Bandung, dan dia di Jakarta.
Aku memutuskan untuk meminta waktu beberapa hari sebelum menjawab perasaannya. Dan tepat 2 hari, aku sudah menggambil keputusan. Aku menerimanya. Aneh, sangat aneh. Aku yang sama sekali tidak bisa berhubungan jarak jauh, dengan tanpa pikir panjang menerima dia menjadi pacar jarak jauhku. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu.
Satu bulan, dua bulan, semua masih berjalan dengan baik meskipun kami tidak bertemu. Meskipun hanya berpacaran virtual. Di bulan ke tiga, aku mengajaknya untuk bertemu. Tetapi selalu banyak alasan yang ia lontarkan. Masih sibuk bimbingan skripsi, katanya. Aku memahami itu. Selama tiga bulan aku bersamanya, banyak sekali hal-hal yang menyenangkan. Ia sering mengirimkan hal-hal random yang bahkan sebelumnya tidak aku pikirkan. Ia memanjakanku dengan materi, meskipun kami tidak bertemu.
Tapi ketahuilah, bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin bertemu. Ucapku padanya. dan sampailah pada bulan ke empat, kami bertemu. Seperti mimpi, orang yang selama ini aku temani, orang yang menyemangatiku, orang yang membuatku nyaris tidak fokus kuliah selama empat bulan,
kini ada di depan mata. Setelah pertemuan pertama itu, kita tidak lagi mempermasalahkan hubungan yang awalnya virtual ini.
Aku sudah mengenalkannya kepada ibu. Ibu pun menyukainya, sama seperti dulu ibu menyukai Adan. Aku sangat-sangat menyayangi Ghazee, bahkan di titik terendahnya. Selama 4 tahun belakangan, ia hanya tinggal dan pamannya. Orang tuanya bercerai, kakaknya menempuh pendidikan
di Malaysia. Dengan kenyataan yang seperti itu, aku malah semakin menyayanginya. Aku ingin ia menyadari bahwa masih ada aku yang peduli padanya.
Banyak canda, tawa, dan air mata yang kami telah bagi bersama. Kami memang jarang bertemu, tapi setiap malam tidak pernah kami lewatkan untuk menelfon satu sama lain. Sesibuk apapun kami. Banyak hal yang membuat kami nyaris kehilangan rasa kepercayaan satu sama lain. Entah itu karena wanita ataupun lelaki lain yang muncul dalam kehidupan kami. Tapi itu semua tidak membuat kami lantas berpisah. Meskipun dengan jarak yang membentang sepanjang 114 km. Ia berkata, “ini hanya soal jarak. Tidak peduli orang diluar sana bicara apa, tidak peduli seberapa banyak hubungan yang gagal karena jarak yang memisahkan, tapi jika aku dan kamu saling mengerti dan percaya, jarak tidak ada apa-apanya. Aku tetap menyayangimu”
Dua tahun berlalu, kami masih tetap menjalin hubungan dengan jarak. Kini ia bekerja di perusahaan papanya. Mamanya memutuskan untuk menikah lagi dengan pria lain. Dan kini aku berada di semester delapan. Sudah selama dua tahun pula aku menghabiskan waktuku dengan lelaki keras kepala, yang jauh berbeda dengan yang awal aku kenal. Dimana banyak waktu ku habiskan untuk menguruskan skripsiku. Sudah ratusan kali kami bertentangan dan bertengkar karena masalah waktu dan jarak. Aku yang sibuk dengan skripsiku, tidak bisa lagi menyeimbanginya yang juga sama sama sibuk dengan perusahaan papanya.
Janjiku untuk tetap menyayanginya disaat titik terendahnya pun, tidak bisa lagi aku tepati. Semuanya terasa sia-sia. Aku gagal mengubahnya menjadi lelaki baik yang tidak keras kepala. Lelaki yang bisa menurunkan egonya demi wanita yang ia sayang. Lelaki yang rela meninggalkan satu hari bekerjanya untuk bertemu dengan wanita yang ia cintai. Aku tidak berhasil membuatnya menjadi lelaki seperti itu. Aku hanya ingin ditemui, diberi semangat. Tapi dalam 6 bulan terakhir ini, ia sama sekali tidak bisa menyisakan satu hari saja untuk ke Bandung bertemu denganku.
Maka aku bulatkan tekadku untuk meninggalkannya. Aku lelah, aku ingin dimengerti olehnya. Tapi selama dua tahun ini, aku rasa hanya aku saja yang mengerti kondisinya. Dan hari ini, aku memberanikan diri untuk meninggalkannya. Dan sesuai dengan dugaanku, ia menyetujui perpisahan ini.
Cerpen dibuat oleh Intania, anggota bengkel sastra 2022
Aku Ingin Jadi yang Pertama
Namanya Sesil, seorang gadis yang berada di tingkat tiga sekolah menengah atas bergengsi di suatu kota Metropolitan di Indonesia. Namanya tak pernah luput dari peringkat atas sekolahnya. Ia adalah gadis dengan ambisi tinggi yang selalu ingin menjadi nomor satu. Setiap mata pelajaran selalu ia usahakan mati-matian demi mempertahankan peringkat satunya. Pekerjaan rumah yang diberikan gurunya pun selalu ia kerjakan tepat waktu sehabis pulang sekolah atau bahkan ia rela jam istirahat yang seharusnya dipakai untuk istirahat dan bercengkrama dengan teman-temannya malah ia pakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Ia seperti yang terus berlari mengejar untuk menjadi yang pertama.
Bahkan, saking rajinnya, ia menjadi gadis yang anti sosial dan jarang bermain serta berinteraksi dengan teman-temannya. Bukan teman-temannya yang tidak mengajaknya untuk bermain bersama, tetapi Sesil lah yang terus menolak ajakan teman-temannya dengan alasan ia harus belajar dan mengerjakan tugas sekolah yang diberikan gurunya. Prestasi yang dimiliki Sesil sangat banyak sehingga ia tidak ingin menurunkan peringkatnya dan ia menganggap bahwa bermain dengan teman-temannya adalah hal yang tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu saja. Kebiasaan ini sudah dimilikinya sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.
Tetapi, suatu hari Ibu Guru memberikan sebuah tugas kelompok yaitu membuat sebuah projek sosial bersama dengan teman-temannya yang berisikan delapan orang perkelompok, hanya Sesil yang tidak memiliki kelompok sendiri dan tidak ada lagi teman-temannya yang menawarkan untuk berkelompok dengan mereka karena teman-teman mengira Sesil tidak ingin berteman dengan mereka, sehingga Sesil dibantu oleh Ibu Guru untuk mendapatkan kelompok dan akhirnya dapat menjalankan tugas tersebut.
Selepas mengerjakan projek sosial tersebut, di kamarnya, Sesil merenungi mengenai hal tersebut, kejadian di sekolah tadi mengganggu pikirannya, ia merasa bahwa ia menjadi terlalu anti sosial dan tidak memiliki banyak teman sehingga tadi saja ia tidak mendapatkan kelompok, ia juga merasa bahwa karena sibuknya ia dalam mengerjakan tugas sekolahnya dan mempertahankan peringkat nomor satunya, ia merasa ada kekosongan di lubuk hatinya karena tidak banyak melakukan interaksi sosial dengan teman-temannya. Hingga libur semester pun tiba, teman-teman sekelasnya merencanakan liburan kelas dengan melakukan camping di daerah pegunungan yang sejuk, tetapi karena teman-temannya melihat Sesil sangat sibuk belajar untuk pelajaran setelah liburan, ia pun tidak diajak oleh teman-temannya. Sesil merasa sangat sedih dan ia Kembali menjadi murung karena hal tidak diajak pergi camping dengan teman-teman sekelasnya.
Ketika waktu libur semester pun usai, Sesil Kembali ke sekolah, tetapi ekspresinya tidak semangat, terlihat lesu, dan murung. Hal ini terjadi berhari-hari hingga mengganggu ke nilai Sesil yang menjadi fluktuatif. Ibu Guru yang khawatir dengan perubahan sikap Sesil kemudian mengajaknya berbincang ketika jam istirahat.
“Sesil, apa ada sesuatu yang mengganggu kamu akhir-akhir ini, Nak?” tanya Ibu Guru
Sesil saat ditanya hal tersebut langsung menangis dan menceritakan masalah yang mengganjal di hatinya, Ibu Guru pun mendengarkan dengan tulus cerita yang disampaikan oleh Sesil. Lalu, setelah Sesil bercerita, Ibu Guru memberi pesan yang menyentuh hati Sesil.
“Nak, kamu boleh berlari dan mengejar hal yang kamu anggap penting, tetapi, kamu jangan sampai tidak menikmati hari ini karena terlalu terfokus mengenai hari esok.”
“Teman-teman bukan tidak ingin menemani Sesil, tetapi Sesil lah yang tidak mencoba membuka hati Sesil untuk mereka, maka dari itu, Sesil harus mencoba menikmati hari-hari bersama teman-teman juga dan percayalah, akan lebih menyenangkan jika dilalui bersama dengan teman-teman juga. Jangan sampai Sesil karena terus berlari, Sesil tidak memiliki teman untuk melalui hari-hari bersama-sama, tidak apa-apa untuk menjadi sedikit lebih santai” nasihat Ibu Guru pada Sesil.
Perkataan Ibu Guru sungguh membuat Sesil merenungi dan membuka pikirannya bahwa ia terlalu sibuk dan mengejar nomor satu sehingga ia melupakan kehidupan sosialnya. Sesil akhirnya perlahan-lahan, hari demi hari, berusaha untuk menjalani hidup dengan lebih santai dan menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya sehingga ia dapat lebih menikmati dan bersyukur dengan kehidupan sekolah dan sosialnya sekarang.
Cerpen dibuat oleh Najwa Rika Faradina, anggota bengkel sastra 2022
Perempuan di Balik Jendela
Matahari kian mempererat jaraknya dengan bagian barat. Sejak siang, langit makinlindap, membuat orang-orang mempercepat langkahnya karena takut tertangkap hujan, kecuali seorangperempuan yang sejak dini hari sudah aman dari segala keterburu-buruan. Tak banyakyangdilakukannya. Hanya berdiri sembari menatap sekitar lewat jendela kamarnya. Ia tak berbicarasedikit pun. Matanya terlihat sendu. Bibirnya pucat. Rambutnya cukup berantakan. Ia takakanberpindah tempat kecuali seseorang datang merangkulnya untuk duduk atau menyuruhnyaagarsegera tidur. Tanpa orang tersebut, perempuan itu akan tetap berdiri seperti menanti sesuatuyangia sendiri tidak tahu apa.
Gelapnya langit ternyata diikuti oleh kilatan petir yang sesekali membuat ruangantakbercahaya menjadi terlihat. Seorang anak laki-laki sedang berusaha menyusun mainannyayangberantakan. Tak sengaja ia melihat seorang perempuan di balik jendela yang tak terlihat jelaswajahnya seperti apa. Anak laki-laki tersebut mengernyit, memandang perempuandi seberangnya itu secara teliti. Sudah menjadi kali kedua semenjak ia pindah ke rumah barunyaiamenemukan perempuan itu tanpa pergerakan sedikit pun. Bahkan perempuan itu mengedipkanmata pun sulit ia percaya. Perempuan itu benar-benar diam seperti patung.
Di hari ketiga, anak laki-laki itu semakin dibuat bingung dengan apa maksud dantujuanperempuan itu masih saja berdiri di balik jendela. Kebingungannya lantas membawa langkahkakinya untuk semakin mendekat ke arah yang akhir-akhir ini membuatnya menjadi sulit tidur.
“HEI!” teriak anak laki-laki itu dengan wajah yang sudah mendongak ke atas. Untukkesekian kali anak laki-laki itu dibuat mengernyit oleh tindakan yang dilakukan perempuandi atasnya yang sama sekali tak mengindahkan sapaannya. Tak habis pikir, ia mengambil kerikil di dekatnya lalu melemparkannya ke atas. Dan yap, kerikil tersebut tepat mengenai jendelanyahingga menimbulkan suara sekali. Apa yang dilakukannya ternyata membuat sang pemilikjendela berhasil menjatuhkan tatapanya pada anak laki-laki di bawah yang mungkin dua tahun
lebih muda darinya. Tiga detik berlalu, tatapannya kembali ke arah semula. Anak laki-laki ituhendak kembali melemparkan kerikil ke atas, tetapi tidak sampai karena seseorang di belakangmenahan tangannya kuat hingga membuatnya harus menurunkan tangannya kembali.
“Pulanglah ke rumahmu,” ucap orang yang tadi menghentikan kegiatannya.
“Nanti. Aku masih penasaran dengan apa yang dilakukan perempuan itu di balik jendela,”balas anak itu sembari menunjuk perempuan di atas dengan dagunya.
Orang tersebut mengangguk, “hati-hati,” katanya sebelum berlalu.
“Sedang apa kamu di sini, Nak?” suara seorang wanita paruh baya di belakangmembuatnya terlonjak kaget.
Anak itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dengan sedikit gugup anakitumenjawab. “Melihat perempuan itu,” tunjuknya yang setelah itu dibuat menganga karenaperempuan itu sudah tidak ada lagi di balik jendela!
“Dia menghilang!” ucap Anak itu dengan sedikit teriak. Dengan kepanikannyaiamenerangkan bagaimana sosok perempuan yang sedari kemarin, lalu kemarinnya lagi selaluadadi atas sana tanpa pergerakan sedikit pun. Wanita paruh baya itu mengusap pelan kepala anakitu, “dia tidak menghilang, dia hanya sedang tidur.” Anak itu mengernyit mendengar jawabandari orang tua di hadapannya itu. “Besok kau bisa kembali ke sini lagi untuk bisa bertemudengannya,” ucapnya sembari berlalu.
“Apa dia hantu?” pikir anak itu yang berakhir berlari terbirit-birit menuju rumahnya.
Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak, sesekali ia dibuat penasaranuntukmengintip rumah di seberangnya. Di sana adalah satu-satunya rumah yang hanya memilki satulampu yang menyala. Tepat di lantai bawah, selebihnya selalu padam. Entah apakahmereka
tidak mampu untuk membayar listriknya, atau mungkin mereka sudah terbiasa dengan keadaangelap.
Sebuah tawaran untuk kembali datang ke tempat, membuatnya dengan berani sudahberada di depan rumah ini lagi. Semua harus segera diselesaikan agar tidak lagi mengganggutidurnya, putus anak itu.
Seorang wanita paruh baya sudah mempersilakan anak laki-laki itu untuk masukkedalam rumah. Dibawanya anak itu menuju sebuah kamar di sudut rumah lantai dua. Seorangperempuan yang menjadi tujuan utama sang anak datang ke rumah sedang duduk dengantatapankosongnya lurus menghadap jendela. Namanya Ziya, sudah dua tahun Ziya menjadi seorangyang pemurung. Tak mau banyak bicara, juga tak mau banyak bergerak. Hanya ingin menunggukehadiran seseorang di balik jendela. Kata Tante Mel−Mama Ziya, Ziya seperti ini semenjakduateman kecilnya pergi meninggalkan Ziya secara bersamaan. Ziya merasa bahwa separuhdirinyamenghilang. Semangat Ziya menghilang ketika kedua teman kecilnya memutuskan untuktidaklagi menemui Ziya dengan alasan yang tak pernah diketahui jelas olehnya.
“Kata abang, di dunia ini tidak ada yang benar-benar teman.” Ziya sama sekali takmengindahkan ucapan anak laki-laki itu. “Sedekat-dekatnya kita dengan teman, suatu saat pasti akan berpisah juga. Bisa karena dia sudah punya teman baru atau takdir yang membuatnyaterjadi.”
“Mereka berjanji untuk kembali,” jawab Ziya dengan sorot mata yang tajammenataplawan bicaranya.
“Terserah, tapi abang selalu bilang kalau satu-satunya orang yang akan bertahan, yangakan menerima kita selamanya, itu ya cuma diri sendiri. Kamu boleh menunggu mereka hadirkembali, tapi kamu tidak boleh sampai melupakan dirimu sendiri.” Keadaan seketika lengang.
Anak laki-laki itu hendak pergi, tetapi sebelum benar-benar pergi, ia sempat mengatakan, “Aku Riza, aku mau menjadi temanmu.”
Cerpen dibuat oleh Halimatusadiah, anggota bengkel sastra 2022
Bertahun, Sia-Sia
Sekolah Dasar atau yang biasa disingkat dengan SD ialah tempat di mana seseorang belum mengenal apa itu kedewasaan. Di SD, orang-orang kebanyakan hanya tahu tentang bermain dan belajar, dan mungkin kebanyakan belum mengenal apa itu cinta. Aku, termasuk orang yang bisa dibilang sudah mengenal cinta sejak SD walau mungkin hanya sebatas cinta monyet saja.
“Eh eh eh, kalian tau Kak Trian gak? Yang kelas 6A itu loh! Kayanya, aku suka deh sama dia. Jangan bilang siapa-siapa ya?” ucap Fina kepadaku dan teman-temanku.
Oh iya, kalian tahu tidak genk ternama di kelas 5C itu siapa? Sudah jelas, CaReFiTa. Sebenarnya, itu hanya singkatan saja. Kepanjangannya ialah Caca, Resti, Fina, dan aku sendiri yaitu Tasya.
Setelah mendengar pernyataan dari Fina, kami hanya mengangguk-angguk saja. Sejujurnya, aku tidak mengenal siapa itu Kak Trian tetapi nampaknya Fina begitu bersemangat saat menceritakan tentangnya. Saat itu mungkin sedang tren sekali menyukai kakak kelas padahal di sekolahku ini, kakak kelasnya tidak begitu menarik di mataku.
Selagi kami asyik bercerita, ternyata Putra menguping pembicaraan kami lalu ia mengumumkan kepada seisi kelas bahwa Fina menyukai Kak Trian.
“Hei guys, Fina suka sama Kak Trian 6A hahaha,”
Fina nampak berkaca-kaca. Ia pasti terkejut sekali karena diketawakan oleh teman-teman satu kelas dan lari ke luar kelas. Ternyata ia menangis tersedu-sedu di luar kelas karena ia merasa telah dipermalukan oleh teman-temannya. Kami selaku teman dekatnya berusaha menenangkannya dan tak lupa memarahi Putra yang dengan tidak sopannya menguping pembicaraan orang.
“PUTRA!!! Kamu tuh mikir atau enggak sih dampak dari perbuatan yang kamu buat? Kamu pikir itu lucu? Itu tuh enggak lucu sama sekali bagi kami terutama Fina. Minta maaf sekarang juga! Cepetan pokoknya enggak pake lama!” kata Resti berapi-api.
“Fin, maafin aku ya. Rasanya, aku udah keterlaluan banget ke kamu. Aku janji enggak akan mengulanginya. Damai ya?” Berakhir dengan uluran tangan Putra yang disambut balik oleh uluran tangan Fina tanda sudah damai.
Semester baru telah tiba, kehidupan akhir di sekolah dasarku telah dimulai. Aku kini telah menginjak kelas 6. Wah, tak terasa ya sudah mau SMP lagi nih. Tentunya, aku akan menikmati masa-masa terakhirku di sekolah ini.
Kehidupan kelas 6 ku diisi dengan belajar yang giat tentunya untuk bekal menuju jenjang selanjutnya. Dan juga, diam-diam aku menyukai Kevin. Dia adalah teman sekelasku sejak kelas 3. Dia menjadi murid baru saat itu dan diawal kehadirannya saja sudah banyak yang menyukainya. Akupun tidak menyangka bisa menyukainya lagi saat ini.
Tetapi, ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Resti juga menyukai Kevin, bahkan Caca saat ini berpacaran dengan Kevin. Aku yang hanya remahan rengginang ini bisa apa?
Ada dua pilihan yang bisa aku ambil. Menyukainya secara terang-terangan dan menyatakannya atau hanya jadi pengagum rahasianya. Aku memilih jalan yang kedua, untuk apa harus bersaing dengan sahabat sendiri? Lebih baik aku melihat mereka bahagia walau aku sakit daripada harus memikirkan kebahagiaan sendiri di atas penderitaan orang lain.
Hari berganti hari, rasa kagumku kepada Kevin kian bertambah. Berita sedihnya, aku dan teman-teman sebentar lagi akan lulus dan kudengar berita dari orang-orang bahwa Kevin katanya akan pindah ke Palembang. Jauh sekali ya dari Bandung tiba-tiba ke Palembang? Ya mungkin memang itu yang Kevin inginkan jadi aku hanya bisa mendukungnya saja walau sejujurnya sedih sekali tidak bisa bertemu setiap hari seperti dulu lagi.
Berita yang kudengar ternyata bukan hanya kabar burung belaka. Hari ini, hari dimana aku masuk ke sekolah baru, aku menyaksikan melalui gawaiku bahwa Kevin sedang di sekolah barunya di Palembang sana. Ah, sedih sekali aku melihatnya. Bahkan aku belum sempat berpamitan sama sekali dengannya tetapi tiba-tiba saja dia sudah nun jauh disana. Ya Tuhan, aku titipkan rinduku kepada umatmu yang bernama Kevin.
Awal-awal kepindahannya, tak jarang kami bertukar pesan melalui Line. Ah ternyata dia sudah beradaptasi, buktinya saja dia selalu menceritakan kebahagiaannya selama disana.
Namun semakin lama, kami semakin jarang pula bertukar pesan dan berakhir menghilang satu sama lain. Akhirnya aku memiliki kekasih, begitu pula dengannya. Sejujurnya aku cemburu, wanita di sana ternyata cantik-cantik juga ya. Pantas saja dia betah.
Dua tahun terlewati, aku sudah benar-benar lupa dengan Kevin. Sudah tidak pernah tukar sapa lagi. Sombong sekali ya dia. Bisa-bisanya melupakanku begitu saja.
Ting!
Notifikasi dari sebuah grup muncul
“Teman-teman, ayo kita buka bersama! Sudah lama sekali kita tidak bertemu,”
Oh ternyata itu pemberitahuan dari grup SD ku, Putra mengajak kami untuk buka bersama. Aku sih lebih baik menunggu balasan dari yang lain saja. Kalau yang lain ikut, akupun tentunya akan ikut tetapi kalau sedikit yang ikut maka akupun malas untuk datang. Hehehe.
“Ayo, mumpung aku sedang ada di Bandung nih. Ya kali enggak kumpul-kumpul”
Deg. Jantungku berdetak begitu kencang saat membaca balasan dari Kevin. Apa kabar ya dia sekarang? Rindu rasanya. Fix aku harus ikut acara ini.
Tibalah hari dimana aku akan bertemu lagi dengan teman-teman lamaku—dan juga Kevin tentunya. Sengaja aku berpakaian berbeda dari biasanya, siapa tau Kevin terpana melihatku hahaha percaya diri sekali kamu, Sya. Aku datang terlalu cepat, baru ada Syifa di tempat ini dan yang lain belum datang. Beberapa menit kemudian datanglah rombongan lelaki termasuk Kevin.
Kevin yang dulu kukenal dengan yang sekarang ternyata tidak berubah. Astaga, aku sepertinya menyukainya lagi. Perasaan yang telah terkubur bertahun-tahun ternyata bisa bangkit kembali hanya dengan bersua lagi, mencium aroma parfumnya, dan melihat tawanya. Kevin, aku tidak mengerti dengan dirimu, sungguh. Peletmu kuat, ya? Bagaimana bisa aku terjatuh ke lubang yang sama lagi.
Akhirnya waktu buka tiba. Kami sibuk dengan makanan masing-masing lalu setelah makan, tak lupa kami melaksanakan ibadah tiga rakaat.
“Eh mending kita kemana lagi, ya? Main ke timezone bagaimana? Atau keliling-keliling mall sini juga tidak apa-apa,” celetuk Jamil.
Kami menyetujui ajakan Jamil untuk bermain di timezone. Sebenarnya, kami para wanita hanya menyaksikan para lelaki bermain karena terlihat seru saja saat melihat kehebohan lelaki.
Setelah puas bermain, kami berkeliling mall sambil bercakap lalu pulang. Di kamar, aku buru-buru mengirim pesan ke Jamil dengan semangat 45. “Mil mil mil, kamu masih dekat kan dengan Kevin?”
“Astaga, Sya kaget banget tiba-tiba ngirim pesan. Masih lah, memang kenapa?”
“Sepertinya aku suka lagi sama Kevin, Mil. Sama seperti kelas 6 dulu. Kevin punya pacar atau tidak sih sekarang?”
“Setau aku sih dia punya pacar Sya, namanya Arina,”
Setelah tahu info dari Jamil, aku segera membuka Instagram dan menstalk akunnya Kevin lalu mencari di kolom pengikutnya. ‘arina…’
Aha! Ketemu juga kamu bambank. Ternyata nama penggunanya adalah arinaadptr (Sut, ya. Jangan distalk!)
Perih hati ini membuka akunnya. Cantik sekali paras Arina arina itu dan yang membuat suasana semakin panas, dia sering sekali memposting kebersamaannya saat bersama Kevin. Pertanda aku harus mundur alon-alon. Selamat tinggal lagi, Vin.
Tahun berganti, kok sudah bulan Ramadhan lagi ya? Artinya, undangan untuk kumpul kumpul berkedok buka bersama akan berdatangan.
Benar saja, 4 hari kemudian Syifa mengajak kami buka bersama di rumah makan miliknya. Yang lebih menyenangkannya lagi adalah tidak dipungut biaya sepeserpun kecuali ongkos masing-masing (Waspada pungli!). Masa yang gratis-gratis tidak didatangi kan sayang.
Setelah tiba hari dimana kami buka bersama, kami berbincang seperrti biasa. Yang datangpun sejujurnya hanya orang yang itu-itu saja bahkan tahun ini terasa kurang karena Kevin tidak pulang ke Bandung. Sedihnya hati adik, mas.
Tapi hatiku kembali terombang-ambing karena tiba-tiba saja Kevin mengirim pesan kepada Jamil yang berisi: ‘Salam ke Tasya,’
Astaga Vin hebat sekali ya kamu membuatku jatuh berkali-kali tapi tidak kapok.
Segera saja saat aku sudah di rumah buru-buru diriku membuat status Whatsappyang ditujukan untuk Kevin.
‘Salam juga buat yang jauh di sana,’
Dan ternyata, gara-gara statusku itu, aku bisa kembali bertukar pesan dengan Kevin. Bahagianya~
Tapi, beberapa hari kemudian aku mulai melihat perubahan pada Kevin yang seolah sudah tidak nyaman berkirim pesan denganku lagi dan benar saja, dia akhirnya menghilang lagi.
Setelah itu aku bersumpah tidak akan menyukainya lagi. Semenjak itu, aku berganti-ganti pasangan demi kepuasan diri. Tapi tahu tidak? Sejauh apapun langkahku menjauhi Kevin, selalu saja ada jalan kembali dan selalu saja terulang kejadian dia yang tiba-tiba hilang.
Puncaknya adalah saat bulan April kemarin. Saat aku sedang pendekatan diri dengan seorang lelaki, tiba-tiba saja dia mengirim pesan yang sangat panjang. Mungkin setara dengan panjangnya teks yang dikirimkan wanita saat sedang ‘marah’ kepada kekasihnya.
Inti dari pesannya ialah: sejujurnya dia menaruh rasa juga padaku sejak 2 tahun lalu, hal kecil yang sering aku lakukan kepadanya ternyata membuat dia senang sekali di sana, contohnya adalah saat aku menuliskan tulisan spesial untuknya dari atas gunug. Dan hal yang membuat dia tidak bisa bersatu denganku adalah karena dia tidak bisa menjalani Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh. Aku diminta untuk menunggu dia kembali ke Bandung saja jika memang ingin berpacaran dengannya. Mungkin saja saat kami sudah lulus sekolah.
Kebodohan yang terulang? Aku mengiyakan untuk menunggu dia hingga lulus tetapi 2 hari kemudian aku berpacaran dengan yang lain walau hatiku tetaplah untuknya.
Tak disangka-sangka, ternyata dibulan Juli dia sudah kembali ke Bandung. Kebetulan juga, aku sudah tidak memiliki kekasih, pas sekali bung. Perawakannya sangatlah berbeda dari
yang dulu karena dulu tinggiku dan dia sama tapi kini dia jauh lebih tinggi (Tapi manisnya tidak berubah hihi.)
Aku senang sekali karena ternyata dia akan menetap di Bandung hingga akhir tahun ini. Apa aku bisa bersatu dengannya sekarang saja? Atau tetap harus menunggu hingga tahun depan?
Pertemuan demi pertemuan dengan Kevin, aku tidak melihat tanda-tanda Kevin akan menepati janjinya itu.
Kekesalanku memuncak akhirnya kutelefon dia dan kumarahi.
“Vin, kurang ajar ya kamu. Kamu berjanji untuk bersama denganku saat sudah di Bandung buktinya sekarang kamu tidak menepatinya tuh. Jadi aku harus bagaimana menganggapmu setelah bertahun-tahun berjuang?”
“Temenan aja kali Sya, kaya dulu,”
“Wah enak sekali ya sudah berjanji, tidak ditepati, dan kini meminta untuk berteman seperti dulu? Tidak bisa, Vin. Lebih baik musuhan sekalian, malu aku,”
Tapi, telefon Kevin tiba-tiba saja diambil alih oleh Kak Wendy alias kakaknya.
“Hey Tasya. Tidak baik ah bermusuh-musuhan. Kakak mungkin tidak tahu alasan Kevin berperilaku seperti itu karena apa tapi tetap ya tidak boleh bermusuhan?”
Aku malu, buru-buru kumatikan telefonnya. Sumpah, aku malu.
Tetapi, setelah kejadian memalukan itu, aku dan Kevin akhirnya bisa berbaikan seperti dahulu lagi tanpa harus melibatkan perasaan. Kami bertemu seperti biasa, bercakap seperti biasa. Sudah tidak ada lagi cinta bertepuk sebelah tangan, cinta dalam diam atau apalah itu. Kini hubungan kami murni sebatas teman.
Vin, kalau kamu baca ini, tolong maafin aku ya? Aku dari dulu memang menaruh harapan yang terlalu tinggi kepadamu tanpa memikirkan resikonya apabila aku jatuh sedalam dalamnya.
Sukses selalu untuk kamu, orang yang selalu memiliki tempat di hatiku.
Cerita pendek ini hanyalah karangan fiktif belaka, dikarang oleh Ramadyani Saskya Ayuni, anggota bengkel sastra 2022
WARNA KELIMABELAS
Seorang anak perempuan tampak sedang berdiri, termenung sambil sesekali tersenyum di teras aula sekolahnya. Seragam santri khas ‘Pesantren YG Darussalam’ masih melekat di tubuhnya. “Putri Mufrihah” tertulis di kotak nametag yang menempel pada hijabnya. Sebenarnya tidak ada kegiatan yang dilakukan olehnya, juga tidak ada sesuatu yang ditunggu olenya.
“Naura Islami, Putri Mufrihah, Rahman Hidayat, …”, kata-kata yang dikeluarkan oleh salah satu asatidz yang membagi kelompok PPL pun terus terngiang di benaknya. Beberapa saat yang lalu, ia merasa semua do’a yang ia harapkan didengar oleh Tuhan. Pasalnya selama 14 hari kedepan ia akan hidup bersama 11 orang lainnya dan seseorang yang spesial untuk menjalankan sebuah amanah di sebuah desa terpencil di ujung Kota Ciamis.
—
Perempuan bermata bulat itu kini sedang sibuk mempersiapkan keberangkatannya dan juga mengecek semua logistik yang akan ia bawa ke tempat PPL tersebut bersama salah satu temannya yang bernama Naufal. Bukan, sebenarnya dia dan Naufal tidak memegang amanah sebagai divisi logistik kelompok tersebut. Namun entah kenapa rasanya tidak afdhol jika dia tak turun tangan langsung mengecek semua barang bawaan kelompoknya.
Perjalanan menuju kota Ciamis memakan waktu kurang lebih sekitar 4 jam perjalanan dengan menaiki bis. Namun tak hanya sampai disana, nyatanya rombongan PPL tersebut harus menaiki mobil angkot untuk sampai ke tempat tujuan. Karena tak mungkin jika santriwan dan santriwati naik dalam 1 angkot, maka pembimbing kelompok meminta satu fasilitas angkot lagi untuk santriwan.
Mereka pun berpisah sejenak…
Tak ada yang aneh selama perjalanan, bahkan para santriwati menyenandungkan lagu selama perjalanan. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Putri, sebelum pergi ke tempat tersebut ia sempat menangis karena takut ia ditempatkan di daerah yang sangat terpencil dan terlempar jauh dari perkotaan, dan sekarang ia merasa semua yang ia takutkan itu terjadi. Selama perjalanan ia hanya termenung melihat ke arah hamparan sawah yang sedikit mulai menguning. Tak ada kendaraan lain yang lewat, disana hanya beriringan dua kendaraan yaitu angkot santriwan dan angkot santriwati. ‘Asri namun mencekam’ batin Putri sambil terkekeh kecil. Perjalanan sudah menghabiskan waktu 1 jam, namun tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti. “Mang, perjalanannya masih lama ya?” tanya Putri ke supir angkot yang mereka tumpangi. “Lumayan neng, itu deket gunung itu” sambil menunjuk ke arah gunung yang jauh didepan sana, bahkan gunungnya masih terlihat berwarna biru menandakan bahwa tempatnya masih sangat jauh. Pikiran-pikiran buruk pun terus bermunculan, sungguh ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan ditempatkan di tempat seperti itu.
“Neng, ini udah sampe. Silahkan atuh turun dulu, nanti amang yang bantu turunin barang-barangnya”. Kata-kata mang supir tersebut membuyarkan lamunan Putri, ia bergegas turun dan mengikuti teman-temannya menuju basecamp. Aneh, desa ini begitu sepi. Apakah ini yang disebut desa mati? Ataukah hanya memang orang-orangnya masih bekerja sehingga tak ada seorangpun yang menyambut kedatangan para santri yang akan PPL di tempat tersebut?
Mereka pun masuk ke sebuah rumah kecil yang memiliki arsitektur zaman Belanda yang nantinya akan dijadikan basecamp santriwati untuk 14 hari kedepan. ‘Dingin’ merupakan kata pertama yang keluar dari para santriwati ketika memasuki rumah tersebut. Rumahnya terbilang cukup luas jika hanya ditinggali oleh 7 orang santriwati didalamnya.’Mencekam’ kata itu terucap lagi di batin Putri ketika ia mulai menyimpan barang-barangnya ke salah satu kamar yang ada di rumah tersebut.
—
“Ri, mau ikut ga?” tanya Naufal, ketika ia hendak pergi mengajar ke salah satu masjid yang ada disana. Putri hanya terdiam, ia sedang berpikir apakah ia mesti ikut bersama Naufal untuk pergi mengajar ataukah ia lebih baik menghadiri pengajian di desa sebelah?. “Rahman juga udah disana. Kalo mau, ayo nyusul bareng aku” sontak Putri membelalakan matanya kearah Naufal. Bagaimana Naufal bisa tahu bahwa selama ini ia diam-diam menyukai Rahman? Sial. Apakah ia terlalu menunjukkan bahwa sebenarnya ia diam-diam suka dengan laki-laki dingin berambut legam itu? Rahman. Ah ketika mengingatnya, ia tak akan pernah bisa berhenti untuk tersenyum.
Sesampainya Putri dan Naufal di tempat yang dituju, ketika mereka hendak melepas sandal yang dikenakan, terdengar suara teriakan sesorang dibelakang masjid “Fal! sini dulu deh!” membuat niat Naufal urung. Pada akhirnya, dia meninggalkan Putri sendirian di teras masjid setelah pamit dan meminta maaf padanya. Putri hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
Netranya bergulir ke dalam masjid kemudian. Pipinya mendadak merona kala melihat Rahman yang tengah tersenyum teduh disamping Isma yang tengah menjelaskan sesuatu pada anak-anak dengan riangnya. Isma itu teman dekatnya, bahkan Putri dan Isma sudah saling mengenal tiga tahun lalu.
Tangannya tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam saku almamater yang dia pakai. Sebuah kaca cermin. Lalu dengan terampil jemarinya bergerak membenarkan hijab yang dia pakai. Padahal, biasanya dia tak peduli jika hijabnya bengkok ke kiri ataupun ke kanan. Rahman ada di dalam, ketidak pedulian itu harus ia buang untuk sekarang ini. Dasar. Gadis itu sedikit berdeham sebelum kakinya melangkah masuk.
“Assalamualaikum” suara itu jelas menyapa indra pendengaran orang-orang yang ada di dalam sana. “Waalaikumsalam! Teh Putri!”. Dia mendapat sambutan hangat. Anak-anak yang tengah menyimak itu langsung berhamburan padanya, hanya sekedar untuk mencium tangannya. Dia tersenyum ramah menanggapi semuanya. Bukan sekedar menyampaikan materi ataupun mendidik mereka secara langsung, namun ia pun menerapkan pendidikannya tersebut kepada anak-anak dengan cara yang tidak membosankan. Tak heran jika banyak anak-anak yang menyukainya, bahkan secara langsung mereka menyatakan bahwa mereka menyayanginya.’ Hah dasar anak-anak’ ucapnya sambil tersenyum. Didalamnya sudah ada sekitar sepuluh anak dan 4 orang pengajar, yaitu Putri, Isma, Naufal dan Rahman. Tak henti-hentinya dia tersenyum melihat Rahman mengajar anak-anak disana membaca Qur’an. Ia hanya fokus memperhatikan Rahman, dan ia tidak pernah tahu bahwa Rahman juga sedang memperhatikan seseorang.
Tak terasa hari pun sudah berganti. Hari ini merupakan hari keempat belas pengabdian rombongan PPL dari Pesantren YG Darussalam. Yang artinya, esok adalah hari dimana mereka harus meninggalkan tempat tersebut. Kata ‘mencekam’ yang selalu ada di benak Putri kini berganti menjadi kata ‘nyaman’. Banyak sekali pelajaran yang ia dapat selama disana. Apalagi momen bersama Rahman, laki-laki dingin yang memiliki senyum terindah itu.
“Heh itu sarung ana! Kembalikan”
“Rifqi, ana ada jadwal menjadi imam di Masjid Assalam, lumayan nanti pulangnya suka diberi pisang”
“Assalamu’alaikum, ukhti.. Tahu pemberian pak Idris masih ada?”
“Aduh aduh itu sendal ana hanyuttt!! Fal! Fal! Itu tolong ambilin”
Setiap kalimat, setiap perilaku yang Rahman lakukan, tak pernah lepas dan hilang dari pikiran Putri. Lagi-lagi dia tersenyum ketika mengingatnya. Empat belas hari dengan empat belas warna yang berbeda datang silih berganti. Kata syukur tak henti-hentinya ia ucapkan setiap harinya. Setiap kejadian, rasanya tak ingin ia lupakan barang sedetikpun. Do’anya terpanjat setiap malam, sampai-sampai ia melupakan bahwa mungkin Rahman juga sedang mendo’akan seseorang di tiap malamnya.
“Cepat berkemas, besok kita akan berangkat menyusul rombongan lain ke Pangandaran pukul 5 pagi”. Ucapan pak Idris membuyarkan lamunannya. Ia segera bergegas masuk kedalam rumah yang sudah empat belas hari ini ia tempati. Berat ketika ia harus meninggalkan tempat ini. Tempat terpencil di ujung kota Ciamis yang menyimpan ribuan cerita disetiap detiknya. Ia tak sanggup jika harus pergi dari sini dan meninggalkan jejak-jejak rekaman yang ia ukir di setiap jalannya. Ah namun hidup mesti tetap berjalan kan? Biarlah tempat ini menjadi saksi nyata dari guratan kebahagiaan yang ia rasakan selama ini.
—
Pangandaran, Februari 2020
“Ri, naik becak yuk!” ajak salah satu temannya. Kebahagiaan semakin Putri rasakan ketika bertemu kembali bersama teman kelasnya yang lain. Teman yang biasa berkumpul dengannya menggoreskan tinta cerita masing-masing di tempat pengabdiannya, dan sekarang waktunya mereka untuk menceritakan segalanya disini, di Pantai Pangandaran sebagai saksi baru bagi kebahagiaan Putri.
Canda tawa tak henti-hentinya terlontar dari gadis-gadis itu. Tak peduli jika hari sudah beranjak sore, mereka menantikan sebuah fenomena alam yang indah, selalu berulang namun menjadi sebuah candu. Sunset. Itulah dia, fenomena paling ditunggu oleh para pengagum senja, katanya.
Teman-temannya sedang tertawa riang dan berswafoto untuk mengabadikan momen tersebut. Karena mereka sama-sama tidak tahu kapan mereka akan pergi berlibur bersama lagi. Namun berbeda dengan Putri, ia pergi ke dekat pasir yang sesekali tersapu air laut dan menuliskan sebuah kata ‘BEBEN’ tulisnya. Ia tersenyum, mengingat beben adalah sebutan bagi Rahman dari teman-temannya. Ia mengabadikannya lewat kamera ponselnya, walaupun ponselnya terkesan jadul, namun ia ingin menyimpannya juga dalam memori ponsel jika suatu saat ia membuka album lama ia akan teringat kembali pada hari indah itu.
“Ri! Sini dulu!” Netranya bergulir, melihat kepada seseorang yang memanggil dirinya. Cepat-cepat dia menghapus tulisan yang sempat ia tulis diatas pasir tersebut. Tak apa lah tulisannya terhapus, pasti bumi Pangandaranpun telah merekam jejaknya.
Ia menghampiri seseorang yang barusaja memanggilnya. Rifqi. Dia merupakan ketua kelompok PPL didaerah yang sama dengannya. Tanpa berpikir yang macam-macam, ia menghampiri Rifqi.
“Ri, ada yang mau aku omongin” tak biasanya Rifqi mengajak seseorang pergi berdua apalagi mengajak seorang akhwat.
“Kenapa qi?” Tanya Putri penasaran.
“Aku tahu, kamu suka Rahman kan?” Ucapnya. Sontak Putri membelalakkan matanya ketika Rifqi berkata seperti itu. Selain Naufal, ternyata Rifqi juga mengetahuinya? Wah ada yang tidak beres nih. Pikir Putri.
“Stop. Jangan tanya kenapa aku tahu semua itu”. Tiba-tiba Rifqi memotong Putri ketika ia hendak membuka mulut. Pasti Putri akan bertanya ia tahu berita itu darimana, pikir Rifqi. Selain menjadi teman dekat selama PPL, Rifqi dan Putriz juga sudah dekat sejak dua tahun lalu ketika mereka sama-sama menjabat menjadi Koordinator Bidang Penalaran dan Intelektual di OSIS Pesantren.
“Aku cuman mau bilang, plis rasa kamu ke Rahman jangan diterusin. Aku tahu, kamu kalo suka sama orang susah lupa nya, susah berentinya. Jadi plis udahan ya”. Putri tak habis pikir, mengapa Rifqi tiba-tiba datang dan mencegahnya untuk menyukai Rahman. Ini sedikit aneh.
“Kenapa qi? Kayak yang kamu bilang, aku emang susah lupa kalo udah suka sama orang. Tapi bisa ga kasih alasan yang jelas kenapa aku mesti berenti suka sama Rahman? Ini kok rasanya tiba-tiba banget qi, kamu dateng-dateng ngomong kek gini sama aku?”. Putri sedikit tidak terima atas perlakuan Rifqi padanya.
Rifqi menghela nafas sejenak. Dia tidak mau jika seseorang yang selalu ingin ia lindungi terjatuh kembali untuk yang kedua kalinya. Biarlah dirinya bukan seseorang yang diharapkan Putri, namun ia hanya bisa untuk terus menjaga Putri dari belakang dengan semampu dia.
“Rahman udah sama orang lain, dan orang itu adalah teman dekatmu. Isma”. Kalimat tersebut mampu meruntuhkan bumi Putri pada saat itu. Rasanya guntur menggelar saling bersahutan melukai gendang telinga hatinya. Hancur. Mungkin kata itu sudah tidak bisa mewakilinya saat itu. Air matanya mengalir deras, tatapannya kosong. Tawa yang beberapa saat lalu keluar dari bibir mungilnya beralih menjadi isakan yang semakin lama semakin terdengar nyata.
Hujan. Ah sial bahkan langitpun menertawakan rasa sakitnya saat itu.
Teriakan teman-teman yang menyuruhnya untuk kembali tak ia hiraukan. Permohonan dari Rifqi yang meminta ia untuk segera berteduhpun tak ia dengarkan. Runtuh. Rasanya kakinya pun tak kuat untuk sekedar menopang tubuhnya. Mungkin orang lain akan berkata bahwa Putri seberlebihan itu. Namun tidak, mereka tidak akan pernah tahu jutaan cerita yang menurut Putri indah telah terpatri nyata dalam hatinya, ribuan senyuman yang Rahman lontarkan telah tersimpan dalam ingatannya. Tak semudah itu jika ia harus mendengar kenyataan bahwa ternyata si laki-laki yang memiliki senyuman terindah itu sudah milik orang lain.
Tangisannya semakin menguap di udara. Menyatu dengan suara air hujan dan petir yang bergemuruh. Sekali lagi, ia sangat merasa hancur dan tak mampu menahan segala kesedihannya. Walaupun dalam hati kecilnya ia pun tahu bahwa sebenarnya ia bukan siapa-siapa yang bisa mengendalikan kepada siapa Rahman harus berlabuh?!
—
Semua kira bahwa pada warna kelima belas semuanya akan menyatu dengan indah. Kisah empat belas warna yang sebelumnya terukir cantik, kini kemudian menjadi menggelap menyatu dengan warna kelima belas yang membuat siapapun sesak melihatnya.
Mau ataupun tidak, semuanya sudah menjadi takdir yang digariskan Tuhan. Karena sesungguhnya hidup itu merupakan perjalanan. Dan Ciamis, adalah kota yang menjadi rest area paling indah bagi seorang gadis bermata bulat tersebut.
“Kututup dan kutitipkan kisah beragam warna di sudut kota Ciamis. Semoga suatu saat kita bertemu kembali dengan takdir terbaik yang telah digariskan Tuhan. Terima kasih atas segala cerita yang kau titipkan pada guratan perjalananku. Aku pamit untuk menutup kisah ini”
Salam sayang,
PutriMufrihah -2020
Cerpen dibuat oleh Endang Selly, anggota bengkel sastra 2022
Cinta Terlalu Cepat
Saat itu,saat dimana aku sedang merasa rendah,kau datang membawa segalanay untukku. Kau berkata hai,kamu kenapa?. Awalnya aku rasa kamu hanya mempermainkanku. Selama kita Bersama kau selalu ada untukku,kau menganggapku sebagai ratumu. Tapi kenapa sekarang berubah? Kemana kamu yang dulu? Apakah kamu bosan denganku? Apa salahku,dimana kurangku tanyaku pada diriku sendiri. Apakah kamu sudah menemukan yang baru disana? Kenapa? Aku mencoba tersenyum setiap hari,mencoba tetap tegar setiap hai. Aku menangisimu setiap malam. Tapi,kamu cepat sekali mendapat peempuan baru. Sangat cepat. Satu bulan kurang. Apakah saat kita Bersama kamu sudah menyimpan rasa pada perempuan lain itu? Tapi,kenapa. Kenapa kamu tidak berkata dulu. Kenapa harus sekarang.
Tidak tau,mau kemana dengan siapa apa yang harus kubuat. Susah rasanya. Apa yang akan terjadi nanti? Siapa yang mau menerimaku? Kenapa kamu cepat sekali membuka lembaran baru
Sebulan pertama masa pacaran adalah surga dunia. Tiga bulan berikutnya dunia masih milik berdua. Menginjak satu tahun gua harus lebih sering istighfar. Setahun pacaran adalah masa dimana aku mulai menyadari bahwa berpacaran sama dia lebih banyak sisi minusnya dibandingkan nilai lebih yang bisa gua dapat. Gua mulai tahu sifat-sifat asli si doi yang membuat gua merasa bahwa apa yang dikatakan Najwa itu ada benarnya, bahwa derita cinta itu tidak pernah berakhir.
Cerpen dibuat oleh Ai, anggota bengkel sastra 2022
Wah cerpenya keren-keren yaa, jangan lupa untuk dibaca sehingga kita dapat mengetahui amanat yang terkandung dalam cerpen-cerpen di atas. Semoga bermanfaat.