Bandung, 18 Juli 2020, dalam sebuah forum di grup WA, sebuah foto disodorkan. Foto anak perempuan berpakaian seragam lengkap dan rapi sedang berhadapan dengan laptop memulai pembelajaran. Dari foto tersebut tercetus keresahan berbuah pendapat tentang Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).
Andhin Dyas Fitriani, calon doktor pendidikan bidang matematika ke-SD-an berkomentar. Berikut rangkumannya.
PJJ yang terkesan berjalan “dipaksakan” saat ini cenderung melupakan dan menghilangkan aspek pedagogiknya. Fokus guru dominan sibuk mencari teknologinya. Padahal, harusnya nomor satu terpusat pada apa yang harus diajarkan; teknologi nomor berikutnya. Akibatnya, anak banyak yang mengeluh jenuh, lelah dengan tugas, stres, bahkan orang tuanya ikut stres pula.
Ibu dua anak tersebut melanjutkan, bahwa pada PJJ saat ini hampir melupakan perkembangan motorik anak, baik motorik halus maupun kasar. Tidak jarang, dampak yang muncul adalah “tangan anak kaku” memegang alat tulis. Tidak bebasnya anak bergerak seperti di sekolah seperti biasanya, secara tidak langsung menjadikan anak “mager”. Motorik kasarnya bisa jadi tidak berkembang sebagaimana mestinya. Pun demikian motorik halusnya, tidak semua orang tua juga bisa mendampingi anak untuk mengembangkan motorik halus, perlu pelatihan.
Selain itu, kesehatan mata anak, mulai dari tingkat pencahayaan hingga durasi waktu berhadapan menggunakan komputer harus diperhatikan. Hal-hal kecil ini kadang luput dari perhatian baik guru maupun orang tua, dari pesan Andhin menambahkan.
Meskipun anak bisa bersosialisasi dimana saja, PJJ tidak boleh membuat aspek sosial dan emosional anak “terganggu”. Kejenuhan yang berdampak stres harus dihindarkan dari proses pembelajaran menggunakan media online, imbuh salah satu Dosen PGSD Bumi Siliwangi yang sering memegang bagian keuangan Prodi menambahkan.
Menurut pengamatan Andhin, tidak dipungkiri bahwa di semua level pendidikan belum siap dengan PJJ ini. Mulai dari dinas pendidikan, sekolah, guru, orang tua, masih banyak yang belum siap. Untuk sementara, guru dan orang tua perlu bekerja sama. Mendampingi anak-anak misalnya mengingatkan tentang pengaturan waktu berhubungan dengan teknologi agar tidak “tergoda” untuk menjadi ketergantungan.
Berdasarkan pengalaman Ibu dosen yang sering sibuk mengelola PPG di PGSD Bumi Siliwangi, dirinya bekerja sama dengan guru anak-anaknya. Untuk yang bungsu, gurunya tiap hari Selasa ke rumah. Untuk yang sulung hari Rabu gurunya ke rumah, sisanya menggunakan beragam teknologi untuk belajar mulai dari zoom, google meet, seesaw, GC, popplet, Canva, dan yg lainnya. Simpulannya, komunikasi orang tua dan guru tidak boleh terputus (Andhin Dyas Fitriani).